Pages

Tuesday, February 21, 2012

Tongue Tie

Aneh kan mom dengernya? saya juga awal2 aneh dengernya..tp info ini penting buat new mom spt kita..biar jelas aq copas aja ya dari email yang aq dapat (tq my hubby)..cekidot..






*Ketika Tongue Tie Mengintai*

21 Februari 2011 lalu adalah hari yang mengantarkan saya menjalani status
baru sebagai seorang ibu. Saya melahirkan Oza, bayi perempuan yang lucu
dengan berat 3.18 kg dan panjang 48.5 cm. Peran, tanggung jawab, rutinitas,
semua serba baru.  Rasanya lega saya bisa melewati proses persalinan normal
meski dengan induksi. Jangan ditanya sakitnya seperti apa. Tapi, rasa sakit
itu terbayar begitu melihat proses IMD yang menakjubkan..



*Saatnya hadiah itu diberikan *

Banyak orang yang bilang, bahwa asi adalah hadiah terindah dari ibu untuk
anaknya. Sejak masa kehamilan, saya memang sudah bertekad untuk memberikan
asi ekslusif pada anak saya dan berusaha mengedukasi orang-oramg terdekat
terutama suami. Syukurnya, suami saya juga sangat bersemangat mendukung
pemberian asi dan rajin sekali mencari tahu atau bertanya seputar asi.
Dengan berbekal pengetahuan yang saya dapat dari kelas edukasi *Basic Breast
Feeding* dari AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia)* dan aneka informasi
seputar asi baik dari milis, artikel, buku, dan sumber-sumber lainnya, saya
merasa percaya diri dan bersemangat untuk memberikan ASi Ekslusif (ASIX),
hadiah untuk si kecil Oza. Itulah kenapa saya tidak panik ketika hari
pertama asi masih berupa kolostrum, saya juga tenang menangani hal-hal baru
yang saya temukan pada bayi yang baru lahir. Tapi ternyata, pengetahuan si
ibu baru ini memang belum mumpuni..


Minggu pertama menyusui rasanya berjalan lancar. Agak sedikit sakit dan
Puting lecet, ah itu sih biasa! Namanya juga ibu baru.. begitu pikir saya
dan kata setiap orang yang mengunjungi saya. Namun hari demi hari,
kepercayaan diri dan semangat saya serasa menyusut, karena lecet di puting
saya makin parah, payudara menjadi bengkak , padahal Oza selalu saya susui.
Sementara   di minggu pertama, sakit & lelah paska melahirkan rasanya belum
selesai. Keadaan ini sungguh sangat menyiksa saya, begini ya rasanya jadi
Ibu .. bathin saya waktu itu. Seorang teman berseloroh, “ di nikmatin aja..
atas lecet, tengah mules, bawah cenat-cenut, yah begitulah rasanya ..” saya
hanya tersenyum sambil meringis membenarkan perkataannya.


Minggu kedua, keadaan tidak berubah, malah semakin parah. Oza seperti orang
yang tidak kenyang dan sering menangis. Meski saya tahu, bayi menangis bukan
karena ia lapar & haus, tapi karena memang itu adalah bentuk komunikasinya.
Tapi pertahanan saya menjadi sangat lemah ketika orang rumah atau para tamu
yang datang menjadi heboh setiap kali mendengar Oza menangis setelah disusui
dan akhirnya menyangka asi saya kurang. Meskipun wajah saya bertahan
menujukkan keyakinan bahwa Oza cukup dengan asi yang diberikan tapi entah
kenapa hati saya menjadi was-was.


Keadaan diperparah dengan kondisi saya yang demam. Untunglah suami saya
sudah membelikan saya breast pump dengan harapan saya bisa memompa asi
ketika Oza tidur. Asi perah (ASIP) saya waktu itu sekitar 80ml, saya lalu
mencoba mengajarkan Oza minum asi menggunakan sendok, Alhamdulillah dia mau,
anak pintar! Dan saya harus bersyukur, karena cara ini cukup membantu saya
ketika akhirnya saya tumbang karena di dera demam selama 7 hari
berturut-turut!


Demam bermula di hari ke-9 , awalnya hanya demam ringan. Tapi ketika masuk
hari ke-13, tiba-tiba saja saat itu ujung puting saya seperti terkena
sengatan listrik , lalu seketika tubuh saya menggigil dan suhu tubuh saya
meningkat sampai 39 derajat. Hal itu terjadi berulang-ulang, pagi, sore dan
tengah malam. Semua menduga itu dari lecetnya payudara saya, tapi Karena
demam yang terus berlanjut, orang rumah saya menduga itu karena infeksi dari
jahitan, lalu dari bergesernya rahim karena saya tidak mau pakai kain dan
dugaan-dugaan lainnya yang semakin bikin saya stress.


Saya sempat ke dokter umum dan jika demam terjadi selama tiga hari
bertutur-turut, saya diminta periksa darah. Tiga hari  kemudian hasil
periksa darah menunjukkan hasil yang bagus. Analisa dokter, saya terkena V*iral
Syndrome* atau demam yang disebabkan oleh virus, bisa jadi karena luka yang
ada di puting saya. Obat penurun panasnya hanya diberi panadol biru. Kalau
sampai 7 hari saya masih demam, saya diminta datang kembali.


Pada saat itu, rasanya menyusui berubah menjadi sesuatu yang menakutkan.
Rasa sakit yang menjalar ketika *latch on*, sungguh luar biasa. Saya bahkan
selalu keluar keringat dingin setiap kali mau menyusui.  Dan rasanya
deg-degan setiap kali mendengar suara tangis Oza karena terbayang rasa sakit
dan nyeri yang akan saya hadapi. Bahkan ada disatu hari saya berada di titik
puncak rasa sakit yang luar biasa dan saya pun menangis tidak mau menyusui
karena tidak kuat menahan sakit. Tapi itu hanya berlangsung beberapa jam,
karena akhirnya saya terus memaksakan diri untuk melawan rasa sakit itu.


Saat itulah ASIP saya berguna. Memang rasanya tidak tega melihat Oza dikasih
asi dengan sendok sementara ada saya didekatnya, tapi pada saat itu dengan
kondisi saya yang di dera demam, rasanya saya berada diambang tega nggak
tega. Anehnya, walaupun menyusu lama hampir satu jam dan sudah minum ASIP,
Oza seperti orang yang belum kenyang. “ya begitu , namanya juga bayi ,
menyusu terus ..” begitu kata orang-orang.


Aneka tips saya jalankan. Menyusu di payudara kanan, payudara kiri di pompa
atau diperas. Tapi ASIP saya makin hari keluarnya makin sedikit. Ditengah
kondisi fisik dan mental saya yang seperti kehabisan batere, selama 3 hari
saya sempat mendapatkan  bantuan donor ASIP dari seorang teman kantor kakak
saya sebagai tambahan asi untuk Oza. Untunglah kakak saya itu bergaul dengan
para ibu yang pro asi, jadi ia bisa membantu menjelaskan hal-hal seputar
pemberian asi ekslusif dan hal yang mungkin oleh orang rumah dianggap tidak
lazim, seperti pemberian asi donor.


Hari-hari saya terasa melelahkan karena sambil demam saya juga harus
menyusui . Bibir saya tiba-tiba tidak bisa mengembangkan senyuman.
Disela-sela itu saya terus berkonsultasi dengan beberapa teman yang
menyusui. Saya lalu menghubungi kenalan baik saya, seorang konselor asi
(Amanda Tasya, Ka. Div. Advokasi AIMI) . Saya berkonsultasi langsung dan di
edukasi lagi seputar anatomi payudara, asi, dan beberapa posisi menyusui
yang bisa saya coba untuk meminimalisir rasa sakit. Satu hari itu sakit saya
terasa berkurang. Yang pasti, saya tidak mengalami mastitis. Tapi besoknya
demam kembali mendera..duh!


Pikiran saya terus berputar. Posisi bayi saat menyusu dan pelekatannya sudah
benar, areola sudah  masuk semua ke mulut bayi, perut bayi ketemu perut
saya, dagu bayi menempel, pipi menggembung, ok ..rasanya semua sudah sama
dengan prosedural posisi yang  benar bayi  menyusu. Lalu apa? Dalam kondisi
seperti itu saya menjadi sensitif dan emosional, karena saya merasa bodoh
tidak bisa menyusui, hanya tahu teori. Apalagi mendengar cerita seorang
teman yang baru saja melahirkan dan tidak mengalami masalah dalam menyusui.



*Tongue Tie*

Masuk hari ke-17. Saya bertekad harus menemukan solusi atas permasalahan
yang saya hadapi. Kebetulan saat saya periksa darah di RSIA Kemang Medical
Care, saya melihat ada klinik laktasi. Hari itu saya datang bersama Oza ke
klinik laktasi dan bertemu dengan dr. Aini .

“Kenapa  baru datang kesini setelah parah, Bu? “ begitu komentarnya  ketika
melihat puting saya yang bukan lagi lecet, tetapi bolong seperti bentuk
kawah di gunung. Dokter Aini lalu mencoba menguraikan permasalahan saya. Dia
melihat posisi menyusui saya, “Sudah benar koq , Bu..” lalu perhatiannya
langsung tertuju pada lidah Oza.


Dan, terkuaklah misteri itu, lidah Oza ternyata pendek alias Tongue Tie. (
http://www.tonguetie.net/index.php?option=com_content&task=view&id=10 ) Hal
ini membuat lidah Oza tidak bisa keluar garis bibir. Lidahnya tidak bisa
‘bermain’ saat menyusui, sehingga fungsinya untuk memompa payudara saat
menyusu tidak berjalan dengan baik. Proses menyusui jadi tidak sempurna.
Akibatnya, laju berat badan bayi dan pertumbuhannya terhambat. Tongue Tie
juga bisa berpotensi menyebabkan anak menjadi cadel .


Sementara akibat yang terjadi pada Ibu, ya salah satunya seperti yang saya
alami ini. Tergantung dari tipe Tongue Tie nya, Tipe Tongue Tie Oza ternyata
adalah tipe satu yang merupakan Tongue Tie yang parah. “Untung ibu nggak
sampe pingsan karena kesakitan ya.. “ saya cuma bisa meringis mendengar
ucapan si dokter yang juga ternyata punya pengalaman yang sama dengan saya.
Jadi selain menjelaskan dari sisi medis, dia juga berbagi pengalamannya
kepada saya saat anaknya diketahui Tongue Tie yang kadangkala sulit untuk di
deteksi oleh orang awam.


Solusinya adalah bagian tali bawah lidah (Frenulum linguistic) Oza harus di
incisi atau digunting.  (
http://www.pediatriconcall.com/forpatients/commonchild/HeadAndNeck/tongue_tie.asp)
Rasanya ngeri membayangkan hal itu dilakukan pada bayi 17 hari, tapi
justru makin muda usianya akan semakin baik. Bahkan anak dr. Aini itu di
incisi saat usianya 2 hari. Jaringan darah di area itu sedikit jadi tidak
akan terjadi luka yang berarti.  Atas persetujuan suami, saya setuju untuk
dilakukan tindakan medis itu pada Oza. Lalu saya disarankan untuk bertemu
dengan dr. Asti Praborini *


Besoknya saya kembali datang ke RSIA KMC dan bertemu dengan dr. Asti
Praborini. Setelah dijelaskan panjang lebar tentang Tongue Tie dan
menandatangani persetujuan tindakan medis, Oza pun di tangani oleh dr. Asti.


“Ibu tenang aja, prosesnya lebih cepat dari menindik telinga bayi.. dan bisa
langsung di uji coba pada ibu” begitu katanya.


Saya diminta duduk dengan dada terbuka dan Oza sudah pasrah bersama dokter
dan suster. dan ternyata memang proses incisi berlangsung sangat cepat dan
tidak semenakutkan yang saya bayangkan. Hanya sekitar 3 menit dan ketika Oza
menangis, sang dokter dengan cekatan langsung memasukkan mulut Oza di
payudara saya. Ajaib! saat itu saya tidak merasakan sakit seperti biasanya.
Oza langsung menyusu dengan lahap, kali ini rasanya berbeda sekali. Mulutnya
Oza dan puting saya seperti lebih klop dari sebelumnya. Proses menyusunya
pun tidak selama biasanya yang sampai 45 menit bahkan satu jam. Sekitar 20
menit dan Oza langsung melepaskan puting sendiri, tidak dilepaskan paksa
oleh saya karena menyusu terlalu lama hingga saya kesakitan seperti
hari-hari kemarin.


Paska incisi, Oza menyusu terus menerus. Frekwensi menyusunya meningkat
tajam. Kata dokter hal ini normal, karena bayi akan belajar lagi dari awal
cara menyusu yang benar dan Bekas lukanya yang kelihatan seperti sariawan
kecil itu memang harus terpapar asi. “Pokoknya ibu sekarang ini nggak ada
kerjaan lain selain nyusuin..ibaratnya, harus siap jadi sapi perah” , saya
cuma cengar-cengir mendengar titah sang dokter.


Proses menyusui mengalami perubahan, saya sudah bisa tersenyum kembali. Tapi
masalah si ibu baru ini belum selesai. Karena paska Incisi, berat badan Oza
sempat turun hampir 200 gram. Duh, apalagi yang salah ya? Masalah ditemukan
ketika pada kunjungan berikutnya dokter Asti bertanya, “Anak ibu tidur
bareng Ibu ,  kan? “

Saya menggeleng, “ tidurnya di box bayi , Dok”


Ternyata saya melakukan sesuatu yang saya anggap nggak ada hubungannya
dengan hal ini. Jadi paska incisi Tongue Tie, saya harus sesering mungkin
bersama Oza dan tidurpun harus bareng. Harus sering-sering kelonan, begitu
katanya. “Pokoknya ibu menyusui bayi dengan mesra, kaya orang pacaran..”
dokter Asti juga menganjurkan untuk sebisa mungkin menyusui dengan suasana
tenang, tidak menyusui sambil menonton tv, lampu dibuat remang, pokoknya
ekslusif hanya berduaan antara si ibu dan bayi.


Saat itu, untuk mengejar produksi asi, saya sempat menjalani program
relaktasi ( http://aimi-asi.org/2007/10/panduan-relaktasi  ) dan kembali
mendapatkan bantuan donor asi untuk 5 hari. Jadi di minggu ke-5 , Oza
mengejar berat badannya untuk cepat naik kembali dan dan saya mengejar
produksi asi supaya kualitas dan kuantitas asinya semakin bagus. Puting saya
yang bolong itu pun berangsur-angsur tertutup dan membaik. Sekarang berat
badan Oza naik pelan-pelan.


Setelah masa suram Tongue Tie itu lewat dan saya sudah fit kembali, saya
baru sempat googling dan mencari informasi lebih banyak tentang Tongue Tie.
Saya bersyukur saat dimana saya tidak sempat lagi mencari informasi lebih
banyak, saya telah dipertemukan dengan orang-orang yang tepat untuk membantu
dan menangani hal ini. Dan, sekarang saya mengerti kenapa salah satu faktor
terpenting dalam kesuksesan pemberian asi ekslusif adalah dukungan dari
orang terdekat. Dalam hal ini, saya sangat merasakan peranan dan dukungan
suami yang begitu besar berada di garda depan dan di ikuti keluarga. Hal ini
sangat penting untuk menghibur dan membesarkan hati ketika bertemu dengan
orang-orang yang akan membuat pertahanan menjadi goyah di masa awal
terjadinya masalah menyusui pada Oza. Godaan buat murka selama masa itu
rasanya besar sekali setiap kali mendengar komentar-komentar yang
menyebalkan. “Aduh, anaknya badannya kurus banget.. kurang asi ya, kasih dot
aja.. ini anak kurang gizi kali ya.. kalo  nggak kenyang tambahin susu
formula aja..” dan kalimat-kalimat lainnya yang bisa bikin tabung gas elpiji
12 kg meledak. Memang tidak ada hal lain yang bisa dilakukan untuk meredam
amarah kecuali sabar. Pantas kalau ada yang bilang, ketika menjadi ibu maka
ambang batas sabar makin lama akan makin besar. Saya begitu salut kepada
para ibu yang berjuang untuk tetap memberikan asi ekslusif dengan kondisi
apapun. Berterima kasih yang tak terhingga dipertemukan dua ibu pendonor asi
yang begitu murah hati memberikan cinta dan semangat asinya kepada Oza.
Semangat berbagi dan kebaikan mereka sangat menginspirasi asi saya untuk
berbagi dengan cara apapun kepada sesama ibu menyusui.


Baru belakangan saya tahu, bahwa ternyata masalah Tongue Tie ini banyak
terjadi di sekitar saya, hanya tidak diketahui dengan cepat karena mungkin
tidak familiar. Bahkan beberapa pasien dokter Asti yang sempat mengobrol
dengan saya di ruang *breast feeding* bercerita kalau sebelumnya ia sudah
datang ke dokter spesialis anak dan dinyatakan tidak ada masalah pada sang
anak. Namun karena sang ibu penasaran, maka ia mendatangi klinik laktasi dan
barulah diketahui penyebab sakitnya saat menyusui. Dari informasi yang saya
tahu, untuk Tongue Tie tipe 3 dan tidak terlalu parah, memang si ibu tidak
akan mengalami seperti apa yang saya alami. Namun, bayi hanya menyusu
sebentar dan seperti kesulitan *latch on*. Lalu si  ibu menyangka bayi tidak
bisa atau tidak mau menyusu pada ibu.  Akibatnya, bagi para ibu yang minim
informasi mengenai hal ini akan memperpendek jangka waktu pemberian asi dan
akhirnya mempercepat pemberian susu formula pada anak.


Beruntunglah saya dan para ibu di zaman sekarang yang memiliki akses
informasi yang begitu terbuka lebar. Jika merasa ada sesuatu yang ganjil,
lebih baik segera bertanya dengan ahlinya ketimbang menduga-duga atau
menggunakan pengalaman orang lain yang belum tentu cocok dengan masalah yang
sedang dihadapi. Tentu dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada para
ibu-ibu pendahulu, orangtua kita yang rajin memberi nasehat. Bisa jadi
nasehat atau solusi yang dulu pernah dipakai itu benar, tapi mungkin saat
ini sudah tidak relevan lagi dengan zamannya. Dan, begitu kita memiliki
informasi dan pengetahuan terbaru, jangan lupa juga untuk segera mengedukasi
mereka agar sesuatu yang baru itu bisa ditransfer kembali.


Sekarang proses menyusui Oza terasa sangat menyenangkan. Kepercayaan diri
saya sebagai si ibu baru kembali melambung. Terima kasih Oza yang sudah
memberi pengetahuan dan pengalaman baru kepada orangtua baru ini.. =)



...semoga bermanfaat ya...


regrads,


mommy Kai

No comments:

Post a Comment